Selasa, 11 Agustus 2009

force majeure dalam hukum perdata

Force majeure atau keadaan memaksa bukanlah merupakan terminologi yang asing di kalangan komunitas Hukum. Force majeure sendiri secara harafiah berarti “Kekuatan yang lebih besar”. Sedangkan dalam Konteks hukum, force majeure dapat diartikan sebagai clausula yang memberikan dasar pemaaf pada salah satu pihak dalam suatu perjanjian, untuk menanggung sesuatu hal yang tidak dapat diperkirakan sebelumnya, yang mengakibatkan pihak tersebut tidak dapat menunaikan kewajibannya berdasarkan kontrak yang telah diperjanjikan.
Force majeure dalam hukum perdata pada prinspinya terbagi dalam 2 jenis yaitu :
• Act of God ( bersifat mutlak (absolute)),.
Yang bersifat mutlak adalah keadaan dimana para pihak tidak mungkin melaksanakan hak dan kewajibannya.
• Act of Nature (tidak bersifat mutlak (relatif))
Sedangkan yang bersifat relatif adalah keadaan yang masih memungkinkan para pihak untuk melaksanakan hak dan kewajibannya. Persoalan resiko yang diakibatkan oleh Keadaan Memaksa dapat diperjanjikan oleh para pihak antara lain melalui lembaga pertanggungan (asuransi).
Saat ini permasalahan yang sedang terjadi di Negara-negara dan tidak hanya di Indonesia saja adalah krisis ekonomi global dimana akibat yang terjadi di Indonesia adalah terjadinya Eskalasi atau kenaikan nilai mata uang dolar terhadap rupiah yang kemudian dalam segala bidang usaha dalam hal ini jasa konstruksi mengakibatkan terjadinya perubahan harga bahan baku dan peralatan lainnya yang kemudian tentunya akan berdampak pada pelaksanaan prestasi dimana tentunya pihak kontraktor akan mengalami hambatan dan mungkin saja dapat mengakibatkan tidak terlaksananya prestasi. Hal tersebut tentunya akan merugikan para pihak terutama dari pihak kontraktor karena eskalasi saat ini masih diperdebatkan apakah masuk kedalam suatu keadaan memaksa atau tidak, karena dalam pasal 22 ayat 2 (j) serta penjelasan undang-undang no 18 tahun 1999 tentang jasa konstruksi itu sendiri tidak menjelaskan secara detail dan jelas kriteria suatu kejadian dikatakan sebagai sesuatu yang disebut keadaan memaksa atau force majeure.
Saat ini suatu keamanan dan kenyamanan menjadi harga yang mahal dan sangat sulit dicari karena sewaktu-waktu bencana bisa saja terjadi. Dalam bidang konstruksi terutama yang berkaitan dengan pelaksanaan proyek di lapangan, resiko selalu muncul. Baik yang bersifat teknis seperti kerusakan gedung tetangga, kecelakaan kerja, kersakan lingkungan sekitar proyek, jalan yang rusak akibat dilalui kendaraan berat dan lainnya maupun yang bersifat non teknis seperti perubahan politik, social perubahan moneter, resiko pemogokan kerja. Dimana dampak dari resiko-resiko tersebut mengakibatkan kerugian-kerugian terutama kerugian financial yang harus ditanggung oleh kontraktor sebagai pelaksana proyek karena pastinya kontraktor tersebut akan mengeluarkan dana tambahan untuk menyelesaikan prestasinya. Resiko tersebut bisa saja dikesampingkan dari tanggung jawab kontraktor bila resiko tersebut masuk kedalam kriteria sebagai keadaan darurat namun tidak semua bencana ataupun kecelakaan itu dapat dikatakan sebagai suatu keadaan yang memaksa atau force majeure oleh karena itu dalam suatu kontrak perjanjian jasa konstruksi biasanya memaparkan klausul force majeure kedalam kontrak tersebut. Dalam undang-undang jasa konstruksi itu sendiri pada dasarnya telah memaparkan perihal mengenai keadaan memaksa atau force majeure namun tidak dipaparkan secara jelas mengenai keadaan memaksa tersebut, selain itu dikatakan juga bahwa perihal mengenai keadaan memaksa dapat diperjanjikan penyelesaian melalui lembaga asuransi.
Lembaga asuransi dapat menjadi alternatif terbaik bagi kontraktor ditunjang pula pada saat ini telah ada asuransi CAR ( Contractor’s All Risk ) yang lahir berawal dari kebutuhan para kontraktor untuk memperoleh perlindungan selama pekerjaan proyek. Dengan adanya produk asuransi CAR ini maka resiko-resiko yang terjadi baik resiko yang terjadi karena kelalaian maupun resiko yang terjadi akibat terjadinya suatu peristiwa yang merugikan yang disebut sebagai keadaan darurat. Karena walaupun keadaan darurat dapat membebaskan ataupun menangguhkan kewajiban kontraktor dalam menyelesaikan tugasnya maupun membayar ganti rugi kepada sang klien namun tetap saja resiko yang terjadi akibat suatu keadaan memaksa telah merugikan kontraktor baik itu biaya, waktu, ataupun tenaga.
Selain itu dengan adanya himbauan dari GAPENSI (Gabungan Pelaksana Konstruksi Nasional Indonesia) yang mengharuskan para anggotanya untuk mengasuransikan proyeknya, sehubungan dengan ada aturan bahwa setiap proyek yang sudah diselesaikan harus dijamin oleh kontraktor selama 10 tahun, oleh karena itu penggunaan asuransi di bidang konstruksi sangat diperlukan. Di lain pihak Pemerintah juga peduli akan hal ini oleh karena itu dituangkan dalam UU no.18 tahun 1999 tentang jasa konstruksi mengenai penjaminan ini namun dalam pengaturannya resiko yang terjadi akibat keadaan darurat tidak diwajibkan kepada kontraktor ditambah kenyataan di lapangan bahwa masih ada kontraktor yang tidak mengasuransikan proyeknya karena beranggapan bahwa dengan adanya asuransi maka keuntungan yang didapat akan berkurang.

1 komentar: